Jika diminta menyebutkan bagian mana yang paling tidak
kusuka dari 'pulang', maka mengendarai mini bis itu adalah yang paling tepat.
Seluruh armada yang tersedia sama saja, kecil, tua, dan pengap karena tidak ada
ac. Dipadukan jalanan yang berlubang dan meliuk liuk, lengkap sudah ujian yang
dihadapi. Dan bagi penumpang kurang jam terbang atau memang berbakat mabuk
darat, siap-siap saja dengan kantung plastik.Para sopir ini kebanyakan tak tahu diri. Asal tancap gas, tanpa peduli erengan kendaraannya dan penumpang.
Entah sudah berapa puluh kali melewati jalur ini, aku tidak
merasakan perubahan signifikan yang terjadi. Dari bayi sampai segede sekarang, bis-bis
itu masih saja berukuran mini dan usang, tanpa usaha memoles diri. Sialnya
lagi, tarif tiap armadanya tak sama. Bukan hanya di kala lebaran, mereka
menetapkan harga seenak jidat. Jika sedang bernasib buruk aku sering rugi dua
ribu perak. Dan jika sedang beruntung-beruntungnya, aku bisa beli tahu goreng
dari sisa ongkos.
Namun seperti armada-armada tua yang enggan bertransformasi
itu, ada kebiasaan yang tak berubah dariku. Aku tak bisa mentolerir bau khas solar, asap, bauran bau keringat dan mabuk
perjalanan tanpa tidur. Mata terpejam bisa hanya satu jam atau sepanjang
perjalanan. Kebiasaanku muntah di kantong plastik itu pun terselamatkan oleh
alam bawah sadarku.
Lepas dari lelahnya perjalanan itu, pulang tetap menjadi hal
paling menyejukkan. Bahkan terkadang, perjalanan penuh tantangan itu bisa
menjadi masa menyenangkan untuk bernostalgia sebelum sampai di peraduan. Bernostlagia
dalam pikiran, sambil mengamati sawah menghijau dari jendela yang
berderit-derit terkena guncangan.
Komentar
Posting Komentar