Ada kaktus yang habitat aslinya adalah gurun dan tanah tandus. Dengan segala karakteristiknya, ia hidup baik baik saja meskipun di gurun sangat minim air. Lalu ada manusia, yang hidupnya akan optimal jika ada lingkungan yang dapat mendukungnya. Orang-orang saat ini mungkin kerap menyebutnya dengan support system. Lalu adakah manusia yang seperti kaktus? Sepertinya tidak. Manusia adalah satu spesies, yang tidak bisa disamakan dengan tumbuhan yang karakteristiknya bisa sangat beragam. Ruh mereka yang berasal dari sumber yang sama, membuat fitrahnuya perlu mendapatkan support. Meskipun ada yang bisa hidup optimal di lingkungan yang gersang, kerontang tanpa dukungan dari lingkungannya, jumlah itu hanyalah sedikit. Sebagian besarnya barangkali akan mengalami anomali. Kelainan entah itu malnutrisi atau kesenjangan lainnya. Intinya, ada sesuatu yang kurang.
Aku memandang diri sebagai seseorang yang tumbuh di lahan yang tidak ideal. Jika diibaratkan tumbuhan, ada unsur hara dalam tanah yang tidak tersedia. Ada sel yang kerdil tak tumbuh semesetinya, meskipun tetap bertahan hidup. Bisa dikatakan support sistem itu yang sulit kutemukan dalam perjalanan hidup ini. Mengutarakan sesuatu yang menjadi impian selalu mendapat pertentangan, entah itu tentangan ekplisit ataupun implisit. Jarang sekali, ada doa yang kudengar mengamini, sejalan dengan impian itu. Selalu, mereka yang semestinya menjadi pijakan mencar-cari alternatif lain, seolah-olah mereka tahu semuanya, seolah-olah apa yang kupilih adalah kesalahan kostan.
Aku sudah lama tidak mau mendengarkan suara-suara itu. Namun sepertinya bukan pendapat mereka yang sok tahu itu yang kubenci. Kiranya aku merindukan sebuah dukungan, sebuah dorongan yang membuatku kian yakin mengambil keputusan. Mungkinkah ini yang menjadikanku jalan di tempat? Apatis dan ragu pada diri sendiri? Karena tak seorangpun mau memvalidasi keputusanku?
Sepanjang ingatan, aku terus berjalan sendiri. Orang-orang yang kutemukan dalam perjalanan tak pernah selamanya membersamai. Takdir sementara ketika misi kami bersinggungan, sejenak membuatku bersemangat. Namun momentum itu biasanya berlangsung singkat.
Aku tak punya kuasa untuk menahan, dan karena kerap sendiri, terkadang dirilah yang tidak mampu berkompromi.
Komentar
Posting Komentar