sumber gambar: https:/.freepik.com
#Ecodigi
Tap
sana, tap sini. Ada promo harbolnas,
scroll-scroll, Macbook seharga dua belas ribu, beli. Coba lagi, swipe-swipe ada diskon 80% Samsung seri terbaru, beli dong. Scroll lagi, muncul promo Beli
1 dapat 1 gratis ongkir di gerai starbucks dengan kode, mata berbinar, udah
bayarr. Tanpa sadar, belum sampai hari
harbolnas berakhir, sisa saldo di akun uang elektronik sudah nol. Tiba-tiba dari
luar pintu kos terdengar ketukan pintu
bertubi dari ibu Kos. Kesadaran kembali, uang kos bulan lalu belum dibayar. Saat
cek saldo di ATM, hanya hela nafas yang terdengar. Transaksi lewat mobile banking
berhasil menguras simpanan untuk barang-barang yang semestinya tidak diperlukan.
Kejadian serupa mungkin pernah kita alami. Sadar atau tidak, saldo
di akun aplikasi yang terinstall di handphone kita tidak ubahnya uang tunai
yang tersimpan di dompet . Saat mengobrol dengan teman atau keluaraga, kita sering menyebutkan istilah-istilah yang
sebenarnya merujuk pada uang elektronik, seperti ovo, go-pay, t-cash dan lain sebagainya. Sebenarnya apa itu uang
elektronik? Mengapa bisa begitu melenakan?
Sebenarnya uang elektronik ini tidak
terlalu beda dengan uang tunai. Sama-sama alat pembayaran yang sah, bedanya
hanya pada wujudnya yang digital dan berupa angka nominal. Jika uang tunai
mempunyai unsur-unsur Uang elektronik pada dasarnya harus memenuhi empat unsur. Pertama, nilai
uang terbit atas dasar setoran uang dari pemegang ke penerbit. Kedua, nilai uang tersebut tersimpan secara
elektronik dalam database server atau chipt. Ketiga, fungsi sebagai alat
pembayaran berlaku kepada pedagang yang menerbitkan si uang elektronik ini.
Keempat, nilai uang elektronik yang disetor pemegang dan dikelola penerbit
BUKAN merupakan simpanan yang dimaksud dalam undang-undang yang mengatur
tentang perbankan (dikutip dari site.medcom.id).
Meskipun
sensasi spending nya kurang
terasa, Ketika digunakan terlalu sering
atau tidak sesuai dengan kebutuhan, dan dikeluarkan tanpa pertimbangan matang
ya sama saja, tetap akan membuat kita
jatuh miskin. Menjadikan kita boros atau tidak, lebih kepada perspektif kita
dalam memandang teknologi baru ini. Faktanya,
menurut penelitian, penggunaan uang non tunai membuat kita lebih boros. Hal ini
salah satunya disebabkan karena transaksi tanpa menyerahkan bentuk fisik alat
pembayaran membuat kita lebih mudah berpisah dengan si uang teresebut (dikutip
dari www.singsaver.com.sg). Bisa jadi,
hal itulah yang menimbulkan spekulasi bahwa populasi pengguna ekonomi digital terbesar
(millennials) sulit menabung dan kepayahan
dalam finansialnya. Meskipun demikian, keberadaan uang elektronik tidak semestinya membuat kita takut jatuh
melarat. Justru, di saat ini kita harus melihat keberadaan uang elektronik
sebagai peluang dan tantangan.
Berbagai
sistem dan layanan di era digital memaksa kita menggunakan uang elektronik
untuk kehidupan sehari-hari. Jadi bisa dibilang, saat ini kita sedang mengalami
proses adaptasi. Di saat teknologi ekonomi digital semakin smart sudah
seyogyanya, kita sebagai pengguna juga lebih pintar. Dalam bertransaksi harus bijak
dalam menggunakan uang elektronik agar terhindar dari pepatah “besar pasak
daripada tiang”. Justru dengan uang elektronik ini kita bisa menjadi lebih kaya
loh. Dengan cara apa? Dengan mengubah
sudut pandang dan sikap kita terhadap si
uang non tunai ini.
Pertama,
kita perlu mengetahui, menyadari dan meresapi bahwa saldo uang di akun sama
dengan lembar-lembar uang tunai yang apabila kita tidak pandai menyisihkannya akan
habis (Meskipun kartu atau handphone yang digunakan masih ada), yang hilang
akan hilang, dan yang rusak akan rusak. Dulu kita membagi-bagi uang tunai dengan
meletakkannya di saku celana yang berbeda atau di poach yang berbeda, untuk
membedakan jenis pengeluaran dalam jangka
waktu tertentu. Bagaimana dengan uang elektronik?
Konsumsi
dengan menggunakan uang elektronik, tetap perlu proses penganggaran. Skala
prioritas dalam hal ini wajib diperhatikan. Misalnya untuk kebutuhan
transportasi, kebutuhan komunikasi, pulsa atau paket data, makan dan kebutuhan
sehari-hari. Pisahkan semua itu dengan membagi , saldo aplikasi mana saja yang
paling sering dipakai, dan anggarkan jumlah topup maksimal pada masng-masing akun
tersebut. Putuskan apa saja yang hendak dibeli di satu periode waktu, dan
patuhi segala yang sudah direncanakan.
Bagaimana
dengan serangan promo yang datang tak diundang? Jika dianalogikan, hal ini tak ubahnya godaan
untuk membeli sesuatu ketika berjalan-jalan di mall. Sekarang godaan itu ada di mana pun kita berada. Di
kantor, di jalan, di tempat tidur, dimanapun. Intensitas bersosial media berbanding
lurus dengan besarnya godaan ini. Perlu disadari bahwa promo cashback, diskon tidak
membuat kita spend less, tetap saja, hitungannya kita mengeluarkan uang.
Apalagi jika barang yang dibeli itu tidak benar-benar dibutuhkan. Maka, mengendalikan
diri sendiri adalah kuncinya. Batasi penggunaan segala yang dirasa berlebihan
dan sudah menimbulkan efek merugikan. Ingat, pengeluaran harus terukur. Keinginan
tidak terbilang sedangkan pundi uang elektronik kita terbatas. Bukan uang
elektroniknya yang salah, kitalah yang harus semakin smart.
Kedua, Uang elektronik mempunyai
sisi tajam lain yang jika dimanfaatkan dengan benar bisa meningkatkan
kesejahteraan. Sayangnya hal ini masih sepi peminat karena literasi ekonomi
yang masih kurang. Investasi pasar
modal! Ya, dengan adanya uang elektronik di handphone, kita lebih mudah berpartisipasi
dalam pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Saat ini, investasi bukan sesuatu yang membutuhkan
dana besar. Kita, kaum muda yang berpendapatan tipis, atau bahkan belum
berpendapatan alias masih sekolah juga bisa menyisihkan sebagian uang elektronik
untuk masa depan.
Langkah
Investasi di pasar modal saat ini bahkan sudah terintegrasi dalam fitur
e-commerce. Pendaftarannya tidak seperti dulu yang memakan waktu dan tenaga dan
memerlukan berbagai persyaratan dokumen tertentu. Kita bisa memilih berbagai
jenis investasi di pasar modal mulai dari risiko rendah hingga tingga. Untuk
yang masih takut-takut, bahkan dengan nominal 10 ribu kita sudah bisa andil
dalam pasar modal! Nikmat manakah yang kita dustakan wahai Millenials?
Bahkan,
cashback yang kamu peroleh cuma-cuma dari pembelian paket data internet dapat
kamu investasikan untuk masa depan! Namun
tunggu dulu, berpikir realistis juga perlu. Investasi itu tidak akan menyelamatkan kondisi
finansial, apalagi masa depan apabila dibiarkan stagnan tanpa penambahan. Pertumbuhan
nilai aset akan sulit dirasakan. Jadi
apa solusinya? Solusinya adalah menginvestasikan uang secara rutin. Tidak jauh
dari cara manajemen keuangan pada umumnya. Sisihkan 20% saja dari uang bulanan
untuk investasi rutin. Uang elektronik yang kamu alokasikan di pasar modal akan
berkembang merimbung seperti benih yang tumbuh di musim penghujan. Rencana masa
depan untuk berkeluarga, rumah impianpun bisa dicicil dari sekarang.
Ketiga,
Kita bisa ikut berperan dalam menyemarakkan geliat industri ekonomi digital.
Generasi muda ditengarai sebagai penggerak utama industri ekonomi digital saat ini. Ditargetkan,
tahun 2020 nanti akan tumbuh seribu startup baru sehingga membawa Indonesia menjadi pemeran
utama ekonomi digital di Asia Tenggara. Mimpi yang disandarkan di bahu kita
ini, alangkah indahnya jika Bersama-sama bisa diwujudkan. Namun, membuat startup bukan perkara mudah.
Banyak
hal yang perlu dipersiapkan untuk membuat sebuah perusahaan baru yang matang
dan bisa survive. Sambil menuju kesana, sekurang-kurangnya kita sebaiknya bisa
memanfaatkan asset uang elektronik yang kita miliki untuk mendukung startup-startup yang sudah ada. Misalnya
ikut berperan sebagai merchant di e-commerce, tergabung dalam komunitas ojek online,
sdan sebagainya.
Bukan
sekadar kemudahan dan konsumerisme. Banyak sisi indah yang bisa kita temukan
dari uang elektronik. Apabila uang elektronik masih dirasa menjadi biang keborosan,
coba geser sedikit kacamata yang digunakan saat ini, Baik dan buruknya ekonomi
digital ada di sudut pandang. Apakah
kita akan survive dan tumbuh atau tergilas kemudahan, diri sendiri jugalah yang
menentukan.
Komentar
Posting Komentar