Risa kembali duduk di kursi depan meja belajar, menatapi lagi jajaran receh yang ditata vertikal. “Tadi sebelas limaratus, jadi tiga belas lima ratus.” Gumamnya. “Kurang seribu lima ratus.”
Perburuan masih harus berlanjut. Risa membuka laci di sisi meja belajar. Sembari memasang mata, dikeluarkannya benda-benda yang dirasa menggangu. Di sudut terdepan, matanya berbinar menemukan sekeping logam. Sejurus kemudian, tercetus decakan di bibirnya. Ia harus kecewa menyadari itu bukan rupiah. Dilemparnya keping receh Thailand itu ke pouch make up di hadapannya. Sambil menggerutu dari mana asal usul receh bath itu, Risa meneruskan perburuan.
Sepuluh menit berlalu, isi laci belum juga usai dikurasnya. Barang-barang yang lama dilupakan Risa beberapa kali mencuri perhatian. Termasuk buku pembuakan berwarna hijau di pangkal laci. Mata Risa tertumbuk, tangannya ragu menyentuh sampil buku. Pikirannya terlempar pada tujuan awalnya bertaruh nasib di kota besar ini. Tumpukan receh sesaat terabaikan.
Risa menarik buku catatan itu membuka isinya dan membacanya singkat.
“Hansel” bisiknya. “Apa yang kamu harapkan, Sa?”
Risa merasa geli sendiri mengingat dirinya dulu yang begitu polos. Menemukan orang yang tidak dia ketahui tanpa petunjuk apapun di belantara Jakarta layaknya mencari duri dalam stumpuk jerami.
Ya, mencari sesorang adalah tujuan utamanya datang ke kota ini. Sudah lama ia meraba-raba dalam gulita. Nihil karena ia tidak punya petunjuk. Pertama kali datang, Risa hanyalah gadis desa tamatan SMA. Meskipun ia cukup cerdas mengakali segala keterbatasannya, namun kehidupan di sini membutuhkan modal yang lebih dari itu. Maka, untuk sesaat Risa memilih jeda. Ia berhenti mencari untuk memilih mengisi bahan bakar. Ia perlu menyusun strategi baru, sebelum mulai pencariannya lagi. Namun rupanya, kehidupannya sekarang terlalu melenakan.
Risa hendak menutup kembali buku catatan itu ketika menyadari ada kertas putih yang mencuat di tepinya. Ditarikya kertas putih itu yang rupanya sepetak amplop kecil. Senyum Risa terkulum. Firasat baiknya dikuatkan dengan temuan selembar uang dua puluh ribu rupiah dalam amplop tersebut. Disikatnya isi amplop itu, lantas tanpa ampun membelasakkan buku bersampul hijau tempatnya bersemayam tadi lebih dalam ke pangkal laci. Menimbunnya dengan barang-barang lain seolah ingin ikut menenggelamkannya dalam ruang paling tertutup dalam hidupnya.
Tanpa menghitung lagi, Risa meraup receh di meja dan menjebloskannya ke kantong celana. Lekas, Risa menyambar sweater hitam yang menggantung di tebok dan kunci kamar kos yang tergeletak di meja. Senyumnya masih terkulum, terpantul singkat di cermin dekat pintu sebelum ia membukanya dan melangkah keluar. Senyum itu semata-mata karena satu hal. Malam ini, ia bisa makan ayam geprek level terpedas yang sudah berminggu-minggu diidam-idamkannya.
Komentar
Posting Komentar