Berkutat pada trauma masa kecil adalah sebuah kebiasaan yang sulit untuk dilepaskan. Memang aneh manusia itu. Sesungguhnya ia amat tahu bahwa kenangan traumatis, adalah derita, namun kenapa masih saja tidak mau lepas? Ini tidak lepas dari paradoks manusia. Manusia terdiri atas dua entitas jiwa dan raga. Mungkin saja ada komposisi yang lainnya, namun saya tidak tahu. Namun sejauh ini, demikianlah sebagian orang mengategorikan elemen dari seorang manusia.
Raga alias fisik, tidak mengenal yang namanya makna hidup, visi masa depan atau hal-hal filosofis semacam itu. Ia hanya mengenal bagaimana cara bertahan hidup didunia dengan cara makan saat lapar, ke toilet saat ada desakan, bernafas, dan berbagai hal lain untuk tetap menapak di bumi. Fisik, boleh dibilang adalah cangkang, kendaraan, atau apapun. Karena itulah, untuk beraktivitas, fisik lebih menyukai rutinitas kebiasaan.
Sedangkan jiwa adalah si pengemudi. Dia yang menentukan kemana arah tujuan, ia yang bertugas merasakan arah angin yang tepat sehingga si moda alias fisik dapat berlayar sesuai arah. Agar, fisik dapat beraksi sesuai dengan apa yang dicita-citakan. Namun, jiwa letaknya yang ada di dalam sangatlah eksklusif. Untuk sungguh-sungguh bisa mengaksesnya, dibutuhkan koneksi yang khusus.
Dan sayangnya ia rapuh. Ketika tidak terlatih, jiwa akan mudah terluka, mengunci diri ketika dunia terlalu kasar baginya. Alhasil jiwa menyerahkan hak kendalinya pada fisik. Sehingga jadilah mode autopilot. Sebuah mode yang sekadar diarahkan fisik tak lain hanya berusaha agar tetap bisa bernafas. Saat di tanya tentang hari esok, impian, fisik akan menjawab; "impian? Apa itu? Apakah itu sesuatu yang bisa dimakan?"

Komentar
Posting Komentar