Bicara tentang emosi, ada sebagian orang yang harus hidup dengan dominasi entitas tersebut. Baiklah, agar semakin jelas konteksnya, saya ingin sedikit menyinggung tentang penggolongan kepribadian berdasarkan MBTI. Dimana salah satunya ada klaster orang-orang yang mempunyai kecenderungan untuk menjadi pereasa, dengan F (Feeling) sebagai salah satu yang dominan. Ada pihak-pihak yang memang sedikit meragukan tes kepribadian MBTI ini . Namun setidaknya, tes ini memberi sedikit banyak cukup cocok dengan diri saya. Dan sebagai salah satu dari anggota perasa, saya ingin menjabarkan bagaimana rasanya menjadi demikian.
Seorang dengan spektrum perasa yang dominan akan mengalami emosi yang intens. Yang kadang akan memancing orang berkomentar, "yah gitu aja nangis", "gitu aja marah". Tentu saja bagi kami, mulut mereka seharusnga perlu dilem. Mereka yang mungkin bukan seorang feeler belum tahu bagaimana sebuah emosia berresonansi dalam diri, bertumbuh berkali-lipat hingga memporakporandakan energi, semangat yang tadinya telah dibangun. Jadi tidak heran, ketika seorang perasa memilih menyembunyikan emosinya.
Lalu bagaimana seseorang bisa tumbuh menjadi demikian, saya sendiri tidak terlalu mengerti.Namun, mengingat pertumbuhan anak adalah multifaktor, saya tidak bisa menyebutkan satu saya. Bisa jadi orang tua, lingkungan, atau hal lain. Yang pasti kedua hal itulah faktor yang cukup besar kontribusinya. Jangan salah, meskipun kecenderungan untuk menjadi salah satu jenis kepribadian ada sejak kecil, jika dibina dengan benar, mereka akan bisa menjadi kelompok feeler yang sehat.
Mereka bisa mengungkapkan perasaannya dengan benar sehingga tak menyimpan bom waktu dalam diri. Namun demikian, tentu saja ada juga para feeler yang tidak terlalu sehat. Mereka yang tumbuh di lingkungan yang kurang menerima keadaannya akan hidup dengan penuh penyesalan, menyalahkan diri dan juga apatis. Jika menyebutkan lingkungan dan anak, apa yang akan terbayang pertama kali? Keluarga? Orang tua? Ya, merekalah yang saya maksud.

Komentar
Posting Komentar