Langsung ke konten utama

Tercipta Melankolis



 


Duduk di kursi pinggir jendela kereta Progo dalam perjalanan Jakarta-Jogja. Saya menuliskan catatan ini ditemani horizon jingga di fajar hari. Pepohonan masih diselimuti kabut putih. Tampak abu-abu nan damai. Namun abu-abu lama saya identikkan dengan keragu-raguan. Bukan hitam, bukan juga putih. Nonblok? Indescisive?

Entahalah, namun warna di kaki langit itulah yang membangkitkan lobus frontal. Ingatan masa kecil. Sebuah melankoli yang saya pikir serasi sekali dengan suasana saya saat ini, ketika pagi yang abu-abu. Barusan saya menangis teringat trauma innerchild yang masih diam-diam menghantui. Namun, sesaat emosi itu mereda, pikiran saya seolah ingin mengingatkan bahwa memang menyukai kesedihan sudah bawaan sejak kecil. 

Saya ingat, ada sebuah buku pelajaran bahasa Indonesia kelas 2 yang saya baca saat kanak-kanak. Menceritakan perjuangan seorang perempuan kecil penjual gorengan yang hidupnya berakhir malang tertabrak mobil. Mengetahui jalan kisahnya yang tragis, saya menangis. Beberapa waktu tangis terhenti, saya baca ulang demi merasakan emosi yang sama. Lalu menangis lagi. 

Lalu saat SMP, ada sebuah novel berjudul Si Jamin dan Si Johan. Alurnya juga tak kalah menyedihkan. Menamatkan kisah mereka, saya menangis tersedu-sedu. Lalu menyimpan buku itu di bawah bantal. Jika ada kesempatan, saya akan membaca ulang dimana si Ibu meyiksa kakak beradik itu, atau bagian ketika pengorbanan mengharukan. Saya tersedu lagi. 

Apakah saya terobsesi dengan kesedihan? Karena hal ini saya terkadang merasa anomali. Bahkan, kesedihan mungkin juga jadi terpancar dari wajah saya. Saya pernah ditanya kenapa saya bersedih, dan itu tanpa konteks. Semata-mata menemui raut yang sedang bengong. Bahkan orang yang saya temui di jalan pernah berseloroh tiba-tiba, "Mbak, jangan sedih, senyum dong."

Bakat melankolis nampaknya memang sudah ada sejak kecil.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cool CN BLUE

Whooooa. .. . .  . pengen treak!! masih dalam perasaan nggak menentu. Baru-baru ini, Setelah nonton Heart String, setelah kenal Yong Hwa, I'm falling in love with CNBLUE. Apalagi Setelah comeback nya di album ke tiga ini. Burning-JongHyun, kamu keren banget di MV Hey You. Baru sadar, senyumanmu mematikan*heheh*. Suaramu, sangat-sangat suka,  *:p* sejak denger "LOVE ",  Yakin deh, setelah ini nggak bakal jadi anonim lagi di CNBLUE. JongHyun, bias baruku. YongHwa, maaf menghianatimu. Minhyuk makin imut di album ke-3. JungShin tetep tinggi *ya iyalah*. MV berulang-ulang aku putar di bagian JongHyun keluar dari ruangan. Waktu dia jalan, sambil nyanyi dan senyum. Entah kesurupan setan apa aku spontan senyum-senyum sendiri, sambil tiruin gaya cherrybelle (pegang kedua pipi). JongHyun charming gila. . . *maap lebai* Ok, lepas dari JongHyun. CNBLUE selalu keren, suka lagu-lagunya. Nggak banyak juga kan Band yang berasal dari Korea. Lagu mereka enak di kupin...

Peringatan

 Seberapa jauh perjalanan yang perlu ditempuh untuk sampai? Ketika memikirkan hal ini, semuanya akan terasa berat. Pikiran, dan hati akan tebebani karena pandangan dipenuhi oleh ribuan langkah yang mesti ditempuh untuk tiba di tujuan. Ada juga yang tidak tahu sama sekali tentang tujuan mereka. Tak tahu kemana melangkah, tiap langkah kecilnya selalu diikuti ketakutan. Hingga kita kadang memutuskan untuk ambil jalan termudah, tidak melakukan apa-apa.  Namun, tidak melakukan apa-apa bukan berarti kamu tidak kemana-mana. Waktu akan menyeret kamu, ke tempat yang sama sekali tidak terprediksi, yang acap kali berupa tempat yang tidak mengenakkan, penyesalan. Tulisan ini adalah peringatan dan juga ajakan untuk diri sendiri yang kerap tak sengaja terlelap dan tak melakukan apapun.  Kalau boleh jujur berpendapat, sepertinya pikiranmu sudah terlalu terkontaminasi oleh keragu-raguan kronis. Ketidakpercayaandirimu sudah terlalu kronis, sepertinya. Bukan tanpa dasar sih, aku bicara dem...

Uncertainty

How do you get used to this feeling? The feeling of uncertainty, the feeling of fear of unknown. Rasanya ingin menghindar ketika dihadapkan dalam situasi ini. Namun, dibalik ketidaknyamanannya, this uncertainty feeling sometimes hides a treasure. This feeling has been with me since the afternoon. Aku mulai mengidentifikasi perasaan tidak nyaman ini sebagai ketakutanku jika tidak bisa mempresentasikan materi dengan baik. Padahal, ketika kuliah, perasaan ini adalah teman yang tiap hari menyapa. Di situasi semacam ini, aku perlu menjustifikasi banyak hal, menjelaskan berbagai macam hal termasuk cara kerja dunia dan pikiran orang lain untuk menenangkan diri. Aku juga mencoba untuk membelah diri, mencoba menjadi pengamat atas diriku yang sedang gelisah. Pengamat yang tak menghakimi, memvalidasinya, dan menghiburnya bahwa perasaan ini sungguh hal wajar, dan terkadang,sisi baiknya,  membuatku menyadari bahwa aku manusia.  Risiko orang overthinking, barangkali. Aku tengah berusaha men...