Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari September, 2022

Suka itu Akan Jatuh Pada Dia yang Menemani (Cerita Kopi)

Ini adalah petang yang cukup langka, dimana aku mempunyai persedian es kopi susu yang kubeli sore tadi. Sudah mendekati tandas, sehingga seruputan terakhir ini  kusayang-sayang. Usai satu tegukan, sambil memejam, aku bergumam. "Uh, enak banget sih... Kopi" Dan setelah itu terbersit di pertanyaan dari dalam diri, BTW, sejak kapan sih aku suka kopi?  Lalu kemudian aku menuliskan ini sambil mencoba bernostalgia. Harap maklum, makhluk seperti saya memang kerap dibanjiri arus dari masa lalu ( pantesan nggak maju-maju ). Jadi intinya, izinkan saya bercerita tentang bagaimana saya berkenalan dengan kopi. Agak samar, namun petunjuk di fikiran saya mengatakan bahwa saya mulai berteman dengan kopi sejak kuliah dulu. Mungkin sekitar semester akhir, jelang tugas akhir dan segala sindrom ksesehatan mental yang diakibatkannya.  Saya rasa ketika itu, saya perlu menyelesaikan tugas-demi tugas yang dapat mengantar saya pada sebuah gelar pendidikan. Sepertinya saya tidak sanggup untuk meng...

Telling a Bullshits

Manusia itu makhluk emosi. Ia yang mengemudikan perilaku dan keputusan, termasuk sebuah kebohongan. Ketika merasa cemas, khawatir ia akan bermanuver, menghindari rintangan yang kadangkala hanya fatamorgana. Ketakutannya yang menjadikannya kemudian memutar lidah, mengatakan omong kosong.  Apakah setelah beermanuver musti meminta maaf? Hal inilah yang sedang kupertimbangkan. Setelah mengatakan sebuah kebohongan, rasa bersalah itu akan muncul. Kemudian, ada keinginan untuk meminta maaf. Namun sesunggguhnya kepada siapakah permintaan maaf ii sebenarnya diajukan? Apakah kepada orang yang telah dibohongi? atau kepada diri kita sendiri yang telah dihianati. Sebab saat berbohong, diri sendirilah yang kemudian bersedih. Di sisi lain, ego terkadang membuat pembenaran. Alasan-alasan yang memungkinkan norma menerima alasan kita untuk berbohong. Sayangnya, meskipun alasan telah dibuat sedemikian rupa, rasa bersalah masih menang. Apa buktinya? Keinginan untuk meminta maaf itu selalu muncul perta...

Emosi itu Seperti Suhu

 Ada kalanya kita begitu dingin, hingga apa yang berada di sekitar tak mampu menyentuh hati. Rasanya begitu apatis, sehingga tamparan orang yang dikenalpun tak lebih dari angin lalu. Namun ada pula saat dimana semua begitu mengganggu, rasanya selalu ingin melempar serapah. Saraf tubuh  begitu sensitif hingga hal terkecilpun membuatmu ingin marah. Namun ada juga waktu ketika kita dapat memilih, memahami, mengethui bahwa hidup adalah kausalitas, yang membuatmu berfikir maklum pada apa saja yang terjadi di depan.  Hari ini aku menemukan orang-orang baik. Mereka membuka pintu rumah  untuk orang asing. Menyuguhkan teh hangat dan mempersilakanku masuk dengan begitu ramah. Aku yang dipersilakan sebagai tamu jadi minder. Setelahnya aku hanya bisa berdoa agar mereka bisa masuk surga dan diberikan suguhan terlezat oleh Tuhan. Aku juga mendengarkan berbagai cerita. Sayang, waktuku terbatas, ada tenggat yang perlu dikejar. Energiku memang seperti terkuras, namun di sisi lain men...

Kerontang

  Pada akhirnya omong kosong. Semakin kesini, saya kian sadar bahwa saya juga adalah karakter dengan kepribadian toxic. Rasanya kian kerontang, koheren dengan bumi yang mungkin sebentar lagi memasuki kemarau panjang. Karakter yang tumbuh tanpa paparan yang tidak cukup akhirnya tumbuh dengan satu sisi gelap. Layaknya tanaman yang  kurang satu hal, entah itu nutrisi sinar matahari atau air, satu saja yang kurang, pertumbuhannya tidak akan sempurna. Mungkin saja rasa buahnya menjadi pahit, daunnya menjadi kuning, atau umbinya menjadi keras berkayu. Disfungsi yang selalu dihindari.  Mereka yang tumbuh dengan kekurangan suatu unsur, menggunakan topeng untuk menutupi kekurangan itu, atau mungkin make up. Concealer. Yang fungsinya menutup noda. Entah itu hanya tahi lalat, jerawat atau borok. Sebagian dari kita menutupinya agar harga jual di mata masyarakat stidaknya tidak anjlok. Setidaknya, kita masih dianggap sebagai bagian yang berjasa bagi peradaban. Namun satu hal yang kera...

Pintu Evakuasi

 Ada, seseorang yang begitu muak dengan hidupnya karena setiap harapan yang digenggamnya patah. Jika ditanya apa sebabnya tentu saja kenyataan. Dunia ini begitu berbeda dari apa yang diproyeksikan dalam pikiran. Hatinya yang berkali-kali patah dan diperban tak pernah sembuh. Sebab setiap hendak mengering, lagi ia patah. Mungkin sebentar lagi akan mengeras, beku sudah. Hingga semua yang ia pandang menarik, tidak lagi punya alasan. Kenapa dunia ini begitu dingin?  Setiap harinya luka itu meneteskan darah. Ia menjaganya sendiri, menahannya dengan tangan. Tak akan ada yang menolong. Setetes lagi kemudian hari, dan demikian hingga puluhan tahun berlalu. Darah itu tak pernah mengering, melainkan terakumulasi layaknya air bah yang menunggu meluncur ke lereng. Lagi, tidak ada yang menolong. Ia sendirian, putus asa, dan kedinginan.  Aku yang menyaksikannya, sayangnya tidak maampu berbuat apapun. Hanya pernah suatu kali kutanya. Adakah hal yang diinginkannya? Ia menggeleng. Ah, ada...