Ini adalah petang yang cukup langka, dimana aku mempunyai persedian es kopi susu yang kubeli sore tadi. Sudah mendekati tandas, sehingga seruputan terakhir ini kusayang-sayang. Usai satu tegukan, sambil memejam, aku bergumam. "Uh, enak banget sih... Kopi" Dan setelah itu terbersit di pertanyaan dari dalam diri, BTW, sejak kapan sih aku suka kopi?
Lalu kemudian aku menuliskan ini sambil mencoba bernostalgia. Harap maklum, makhluk seperti saya memang kerap dibanjiri arus dari masa lalu (pantesan nggak maju-maju). Jadi intinya, izinkan saya bercerita tentang bagaimana saya berkenalan dengan kopi. Agak samar, namun petunjuk di fikiran saya mengatakan bahwa saya mulai berteman dengan kopi sejak kuliah dulu. Mungkin sekitar semester akhir, jelang tugas akhir dan segala sindrom ksesehatan mental yang diakibatkannya.
Saya rasa ketika itu, saya perlu menyelesaikan tugas-demi tugas yang dapat mengantar saya pada sebuah gelar pendidikan. Sepertinya saya tidak sanggup untuk menghadapinya sendiri. Melewati malam, tanpa ada asupan ke dalam mulut nampaknya mustahil kala itu. Maka, jadilah saya mencari minuman instan yang mudah diseduh dan mampu membantu saya terjaga dan menghadapi angka-angka. Dan disitulah saya mengenal kopi instan, dan mendapatkan kesan pertama yang cukup baik darinya.
Maka hubungan saya dengan kopi instan ini berlanjut hingga hari-hari berikutnya. Dan ia perlahan menjadi sahabat. Tidak bisa dipungkiri, saya mulai menyukai sumber kafein ini. Rasanya terkadang ada yang kurang ketika hari tak dilewati tanpa kopi.
Hingga suatu hari, saya mulai menemukan kopi yang diracik sebagai espresso. Rasanya seperti menemukan sesuatu yang autentik. Meskipun saya menyukai rasa minuman manis, namun saya bisa merasakan secangkir kopi susu dari biji kopi yang diolah sedemikian rupa mempunyai cita rasa berbeda. Lalu kemudian, selera saya yang sebelumnya adalah kopi instan dengan berbagai campurannya, bergeser ke kopi kafe yang diolah dengan barista dan mesin. Well, tapi itu tidak membuat saya serta merta meninggalkan kopi instan. Maklum, selisih harga antara kopi racikan barista dengan kopi instan yang diseduh di rumah tentu jauh berbeda.
Namun terlepas dari apapun varian minuman kopinya. Kopi sudah melekat di lidah dan hati, hingga saya bisa mulai berkata bahwa saya suka kopi. Semacam pengakuan berani , bagi seorang introvert.
Jadi, apakah sekadar rasanya? Ataukah kehadirannya yang mampu memberi semangat untuk terjaga? Apapun itu keberadaannya adalah sebuah hal untuk disyukuri.
Komentar
Posting Komentar