Pada akhirnya omong kosong. Semakin kesini, saya kian sadar bahwa saya juga adalah karakter dengan kepribadian toxic. Rasanya kian kerontang, koheren dengan bumi yang mungkin sebentar lagi memasuki kemarau panjang. Karakter yang tumbuh tanpa paparan yang tidak cukup akhirnya tumbuh dengan satu sisi gelap. Layaknya tanaman yang kurang satu hal, entah itu nutrisi sinar matahari atau air, satu saja yang kurang, pertumbuhannya tidak akan sempurna. Mungkin saja rasa buahnya menjadi pahit, daunnya menjadi kuning, atau umbinya menjadi keras berkayu. Disfungsi yang selalu dihindari.
Mereka yang tumbuh dengan kekurangan suatu unsur, menggunakan topeng untuk menutupi kekurangan itu, atau mungkin make up. Concealer. Yang fungsinya menutup noda. Entah itu hanya tahi lalat, jerawat atau borok. Sebagian dari kita menutupinya agar harga jual di mata masyarakat stidaknya tidak anjlok. Setidaknya, kita masih dianggap sebagai bagian yang berjasa bagi peradaban. Namun satu hal yang kerap terlupa, di balik topeng itu, ada luka menahun yang mungkin saja memburuk, infeksi semakin parah. Ditahan-tahan, hingga suatu saat meletup layaknya bom waktu.
Ketika melihat sesama dan menemukan bahwa kita beda, ada canggung yang mengganggu. Ada rasa inferior yang menyengat. Misalnya saat melihat dua orang sahabat yang lama tak bersua, lalu berpelukan melepas kerinduan. Terlihat begitu natural. Itulah juga yang disajikan film-film layar lebar hingga sinetron kejaar tayang. Namun, seorang bertopeng tidak terbiasa dengan budaya itu. Ia hanya meniru- niru, dengan canggung. Karena selama hidupnya ia tidak pernah bersua dengan pelukan. Atau kalaupun pernah, kenangan itu sudah tertimbun oleh luka. Memori yang menyiratkan kasih sayang itu mungkin sudah terdegradasi. Tidak lagi berbentuk.
Karena tidak mengetahui esensi dari norma sosial manusia, ia yang bertopeng itu merasa tidak lagi cocok dengan dunia. Ia berteman dengan banyak karakter, namun tidak pernah merasa benar-benar terhubung. Ia berjalan sendiri sambil mengamati, langit, ujung jalan di depan, dan juga di belakangnya. Di kanan kirinya ada orang orang yang bergandengan tangan, saling menguatkan dan tampak antusias dengan setiap hal yang mereka temui. Ia yang bertopeng, mengamati... Bagaimana bisa mereka masih begitu bersemangat dengan kehidupan? Sementara aku merasa begitu lelah. Lalu ia melihat tangannya. Inikah yang dimaksud dengan "Berjalan sendiri itu melelahkan?"
Ia tidak tahu kapan perjalanannya akan berakhir. Jadi meskipun sudah lelah ia terus melangkah, sambil menerka-nerka apakah rasa lelahnya bisa sejenak hilang. Atau apakah ada orang yang mau membersamainya? Namun siapa yang menyukai tanamaan yang daunnya sudah menguning? Sejak kecil, ia diajarkan untuk selalu sendiri. Hingga ia merasa tak layak meminta tolong. Ketika ada yang menawarkan bantuanpun, ia tidak yakin apa yang bisa mereka bantu. Namun ketika sendiri, berjibaku dengan pikirannya yang berantakan, ia merasa tak saggup dan menginginkan seseorang. Saat tangisnya pecah, ia akan memarahi dirinya sendiri, sembari berdebat bahwa ia terlalu mengasihani dirinya sendiri.
Ia menangis sampai matanya bengkak. Hampir setiap malam. Sampai kesedihan menjadi karakter dalam wajahnya. Sampai orang asing tak dikenal pun menghiburnya meskipun saat ia dalam kondisi netral. Seiring perjalanannya ia juga menatap kebelakang, berkontempelasi dan menemukan bahwa hidupnya yang melelahkan bukan sepenuhnya salahnya. Ia melihat satu karakter di belakang, orang tuanya.
Orang tuanya yang membiarkannya berangkat sekolah tanpa sempat menyisir rambut, orang tuanya yang ikut meremehkannya saat tidak bisa menjawab satu dikali dua. Orang tuanya yang membiarkannya berjuang sendirian saat kesulitan buang air besar. Orang tuanya yang terus memerintahnya setiap hari dengan suara keras. Orang tuanya yang diam saja saat saudaranya menindasnya. Orang tuanya yang membiarkannya kebingungan karena tidak seorangpun mengambilkan rapor nya meskipun ia mendapat ranking pertama. Orang tuanya yang enggan membukakan pintu mesipun saat ia pulang larut malam. Orang tua yang tidak pernah meminta maaf. Orang tua yang tidak pernah mau mendengarkannya. Orang tua yang selalu menyalahkannya. Mungkin ada suatu hari dimana ia menimangnya.
Namun itu tidak lagi tertinggal di ingatan karena langkanya seperti gerhana bulan darah. Yang ia ingat adalah luka yang membuat dirinya merasa tidak relevan lagi berada di dunia. Ia merasa sudah rusak. Dalam lukanya ada kebencian yang kian hari membusuk. Namun masih harus terus berjalan. Adakah di depan sana ada power berry yang bisa menambah semangat hidupnya? Yang mengobati lukanya?
Komentar
Posting Komentar