Jelah tengah hari, aku menjadi pengunjung pertama sebuah coffe shop di sudut kota Jogja. Kota ini selalu punya daya tarik untuk diceritakan. Jadi kusebutkan saja. Sesaat sebelum menuliskan ini, aku hendak memulai sesi belajar mandiri. Namun terasa ada yang mengganjal, seperti minta diutarakan. Lagi, aku nggak mengerti apa. Rasanya berkabut, dan aku hanya bisa meraba-raba rasa itu.
Mungkin ini perasaan gundah akan ketidakpastian. Aku yang memilih di luar jalur default ini bisa jadi merasa kegundahan itu. Mungkinkah ini ketakutan akan ketertinggalan? Namun jika diturut lagi, memilih jalur ini tanpa sungguh-sungguh akan membuatmu terkadang merasa terkutuk. Tapi sekali lagi, aku telah berusaha keras untuk menutup arus pemikiran itu. Sebab jika dituruti lebih jauh, sudah pasti ia akan mengantarkanmu pada jurang gelap.
Jadi selain berupaya mengendalikan turbulensi emosi yang cukup sering terjadi, aku juga perlu mengendalikan pikiran-pikiran menyesatkan yang menjadi pemicu turbulensi itu. Sebab kalau sudah badai, rasanya energi tubuh terserap habis tanpa ada daya untuk melakukan aktivitas. Aku kehilangan kendali dan harus mengubah ke safe mode. Mode dimana aku hanya bisa di tempat tidur untuk menenangkan diri.
Kegelisahan ini kerap kucoba netralisir dengan kafein. Meskipun aku sadar, mencari penyembuhan dari luar tak akan banyak membantu, setidaknya segelas kopi bisa menemaniku menemukan penyembuhan yang sungguhan. Bicara tentang penyembuhan, kurasa sebenarnya Tuhan sudah menyiapkannya bagi manusia. Di antaranya yang kuingat adalah melalui sholat dan sabar. Namun keduanya juga punya seni penguasaannya sendiri jika ingin keduanya benar-benar mujarab mengempaskan gundahmu. Sebisa mungkin, belajar mengikuti metode itu, semoga jiwa ini memperoleh ketenangannya. Sabar sendiri, adalah hal lain yang musti dipahami lebih jauh untuk bisa mempraktikkannya dengan benar.
Sebentar, satu kegundahan tampak mengungkapkan wujudnya. Sepertinya ini adalah kegundahan yang dipicu oleh keputusanku untuk resign yang tampaknya terlalu terburu-buru. Tanpa memastikan dengan pasti tujuanku selajutnya, aku sudah memutuskan. Dan begitu yakinnya sebelum menerima hitam di atas putih. Sungguh keteledoran yang menyesakkan. Dan terkait hal ini, aku sudah bicara pada orang-orang bahwa aku sudah mendapatkan tempat baru. Namun nyatanya tidak demikian. Aku masih terombang-ambing dalam ketidakpastian. Sayang sekali, aku terlalu percaya diri.
Kemungkinan terburuknya adalah, aku masih harus bergantung pada diri sendiri. Kemungkinan yang lebih baiknya, aku bisa berusaha lebih keras untuk berlari dengan kaki sendiri. Aku terkadang penasaran bagaimana rasanya bekerja benar-benar keras. Ini membuatku berfikir bahwa manusia di luar sana sungguh kuat. Aku ingin mempunyai energi sebanyak mereka. Namun tak ingin hidup seperti itu. Namum bagaimanapun, semoga jiwa mereka juga selalu kuat.
Komentar
Posting Komentar