Hari raya kurban . Takbir memenuhi udara tak putus-putus melalui toa yang tersebar di penjuru desa. Hari raya di sini ramai. Orang-orang merayakannya selayaknya hari raya. Kuharap hal seperti ini akan selalu menjadi hari istimewa. Sayanganya, semakin dewasa seseorang, mereka jadi terlalu familier dengan keistimewaan ini. Hingga membuatnya biasa saja. Andai kita menganggap setiap hari adalah hari yang baru, pastinya semangat itu bisa lebih menyala setiap tahunnya. Maka kita harus berterima kasih pada anak-anak. Energi merekalah yang membuat hari istimewa ini gempita.
Sambil menantikan kiriman daging kurban yang katanya hendak diantarkan, aku hendak memulai agendaku. Dan menuliskan apa yang tengah kupikirkan menjadi suatu hal yang kurasa perlu kulakukan untuk mampu mengorganisir isi pikiran. Hal ini masih terasa asing, sebab biasanya aku hanya membiarkan saja emosi dan fikiran bersinergi membuat kekacauan yang berakibat pada berantakannya sebuah rencana.
Menuliskan ini juga menjadi semacam afirmasi diri untukku agar bisa mengendalikan ketidakstabilan di dalam diri. Perlahan, dan berusaha untuk nggak terburu-buru. Aku ingin berdamai dengan diriku sendiri. Dengan memahaminya dalam tataran yang lebih dalam. Sudah lelah rasanya membiarkan emosi ini menguasai dan menjadi tak terkendali. Dan yang kusadari kemudian adalah kedamaianlah yang kuinginkan.
Bicara tentang kedamaian hati, semalam tadi aku merasakan sebuah kedamaian yang begitu familiar. Rasanya seperti nostalgia. Damai itu ada di diriku di masa kecil. Semua hal di dunia ini terasa harmonis, dan aku tak menghawatirkan apapun. Rasanya mungkin seperti dipeluk dalam kehangatan. Aku tidak yakin bagaimana sensasi damai itu muncul. Kedamaian yang sangat sulit kutemukan setelah menjadi dewasa, yang sayangnya hanya berlangsung sesaat.
Kedamaian itu seperti penyembuh. Badanku terasa lebih segar setelah bangun. Aku ingin merasakannya lagi.
Komentar
Posting Komentar